Berbagi Juga Berbakti

Pendidikan Formal vs. Pengembangan Bakat: Mengapa Keduanya Harus Seimbang?


 Sistem pendidikan pada masa aku masih anak-anak sampai saat ini cenderung lebih menekankan aspek formal seperti mata pelajaran akademik dibandingkan dengan pengembangan bakat dan hobi anak, seperti olahraga sepak bola. 

Sekolah dan masyarakat sering kali menganggap keberhasilan akademik sebagai tolok ukur utama kesuksesan, sementara minat anak dalam bidang non-akademik kurang mendapat perhatian yang setara. 

Akibatnya, banyak anak yang memiliki potensi besar dalam bidang olahraga, seni, atau keterampilan lainnya kurang mendapat dukungan yang memadai untuk berkembang. 

Padahal, bakat dan hobi juga memiliki peran penting dalam membentuk karakter, disiplin, dan keterampilan sosial anak. 

Jika sistem pendidikan lebih seimbang dalam menghargai akademik dan pengembangan bakat, anak-anak dapat tumbuh dengan lebih optimal sesuai dengan potensi mereka masing-masing.

Aku punya cerita, pada waktu masih SD kelas 6, saat itu sekitar tahun 2007 dimana pada masa itu masih menerapkan ujian nasional sebagai syarat untuk lulus dan tidak lulusnya sekolah, aku sendiri tidak gitu tertarik dengan pelajaran sekolah kecuali IPS seperti Sejarah, Geografi(tidak untuk ekonomi), IPA hanya Biologi dan bahasa Inggris, sedangkan mata pelajaran untuk ujuan nasional adalah AGAMA, IPTEK, KEWARGANEGARAAN, ESTETIKA dan OLAHRAGA(aktualnya nustru gak didukung sama bu guru)

Pada masa kelas 6, kegiatan belajar pasti lebih intens bahkan ada tambahan les segala macam, tapi aku sama sekali tidak tertarik, pada masa itu juga ada kompetisi sepak bola antar SD sekecamatan, pesertanya pasti banyak, karena saat itu kecamatanku di Ngajum, Malang, Jawa Timur belum di pecah dengan wilayah gunung Kawi.

Saat itu tim SD ku juga ikut dan aku juga ikut, artinya aku meninggalkan pelajaran akademisnya, ingetku juga aku sudah izin ke orang tua marena aku dibekalain lebih dan ke bu guru tapi saat itu dijudesin sama beliau, karena aku gak gitu suka pelajaran akademis, jadi aku memilih ikut main bola, lapangannya cukup jauh, karena aku dari dusun dan lapangannya di area kecamatan, jaraknya kurang lebih 12 kilo meter, kami berangkat naik mobil bak dari guru olah raga.

Singkat cerita kami tanding lawan MI tetangga yang ternyata malah sudah nyewa anak-anak MTS buat main, pertandingan pertama menang dan lolos ke babak berikutnya, lawan kami selanjutnya tim SD kampung sebelah yang juga menang, di pertandingan kedua kami kalah dan pulangnya pun tim SD itu bareng kami karena guru sudah pada kenal juga jadi di ajak bareng, disitu aku dapat teman baru lagi, sampai saat ini juga cukup dekat dengan mereka.

Balik lagi ke masalah pendidikan, selesai pertandingan kami pulang ke SD dan karena saat itu masih ada jam pelajaran, aku masuk kelas, tetapi tetap di judesin bahkan di omongin yang gak enak, untuk aku si kalau diomong apa aja lewat telinga kanan keluar telinga kiri.

Biarpun aku gak gitu suka palajaran akademis tapi untuk nilai dan rangking ya masih 3 besar :V.

Maksudku gini deh untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan seimbang, diperlukan perubahan dalam cara pandang terhadap keberhasilan anak. 

Pendidikan formal memang penting, tetapi pengembangan bakat dan hobi juga tidak boleh diabaikan. 

Dengan memberikan ruang yang lebih besar bagi anak untuk mengeksplorasi minat mereka, baik dalam olahraga, seni, maupun keterampilan lainnya, kita dapat membantu mereka menemukan potensi terbaiknya. 

Jika sistem pendidikan mampu menghargai akademik dan non-akademik secara setara, maka setiap anak memiliki peluang yang sama untuk sukses sesuai dengan passion dan kemampuannya.

*untuk foto nanti ku ganti fotoku masih ikut SSB hahaha


Share this post :

Posting Komentar

Test Sidebar

 
Support : Creating Website | Roni Template | Roni Template
Copyright © 2011. Bagus Kholilul Mustajib - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Roni Template
Proudly powered by Coretan ex Mahasiswa Bodoh